Merdeka dari Pandemi: Ketika Keberagaman Berubah Menjadi Rintangan
Merdeka dari Pandemi (indahladya.com) |
Siapa sih yang nggak mau
segera merdeka dari pandemi? Terlebih lagi seringkali timbul desas-desus masyarakat,
seperti “kapan sih pandemi ini berakhir? Di-lockdown gini jadi makin
susah nih mau ngapa-ngapain!”
Setidaknya
keluhan-keluhan seperti inilah yang seringkali aku lihat, mulai dari WhatsApp
group arisan mama, atau bahkan disampaikan oleh tetangga sekitar sendiri
secara langsung.
Tidak bisa dipungkiri, melonjaknya kasus infeksi Covid-19 ini menyebabkan pemerintah harus bisa memikirkan win-win solution agar pandemi ini bisa teratasi dengan baik sehingga kita bisa merdeka dari pandemi, tanpa perlu mengorbankan pihak manapun. Sayangnya, pada kenyataannya nggak mungkin semudah itu.
Dulu kita sudah pernah
melalui masa PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), di mana beberapa kegiatan
seperti sekolah dan bekerja cukup dilakukan dari rumah. Belum lagi perihal
pembatasan transportasi yang dulu sempat memberlakukan ojek online
(transportasi roda dua) tidak diperbolehkan mengangkut penumpang, hanya untuk
mengangkut barang.
Pada kondisi ini mungkin
beberapa pihak yang diberi kemudahan, seperti para pekerja yang masih diberi
kesempatan untuk melakukan work from home (WFH), tentunya tidak merasa
sekhawatir orang-orang yang masih harus bepergian keluar rumah jika ingin
mendapatkan rupiah di hari itu.
Dulu aku berpikir bahwa
permasalahan ini hanya seputar latar belakang ekonomi saja. Di mana kaum
ekonomi menengah ke atas biasanya akan teriak protokol kesehatan, sedangkan
kaum ekonomi menengah ke bawah justru jadi teriak kelaparan. Karena nyatanya
tidak semua orang bisa bertahan untuk berdiam diri di rumah namun tetap
mendapatkan penghasilan di setiap bulannya.
Sayangnya ternyata
anggapanku ini tidak sepenuhnya benar, karena nyatanya masih banyak orang-orang
dengan keadaan ekonomi menengah ke atas menginginkan suatu kebebasan yang
lebih. Bahkan uang bulanan dari hasil WFH sepertinya tidak bisa untuk mencukupi
kepuasan mereka pribadi.
Masih banyak orang yang
mengaku stres karena terlalu banyak berdiam diri di rumah, yang notabenenya
sudah dilengkapi fasilitas yang mumpuni, perihal alasan untuk sekedar cuci
mata, menikmati sensasi menyeruput kopi di coffee shop, atau bahkan
berbelanja di offline store yang katanya bisa menghasilkan sensasi
berbeda dibandingkan berbelanja di online store.
Hingga pada akhirnya, aku
mulai menyadari, apakah ini yang disebut sebagai keberagaman masyarakat
Indonesia dalam menilai suatu permasalahan?
Indonesia, Satu dengan Keberagaman
Keberagaman Masyarakat Indonesia (indahladya.com) |
Indonesia memang dikenal
sebagai negara kepulauan dengan suku bangsa yang tersebar dari Sabang sampai
Merauke. Keberagaman dalam berbahasa dan adat istiadat yang berlaku tentunya
menjadi sebuah kebanggaan bagi semua bangsa yang tinggal di dalamnya.
Baru-baru ini aku sempat
mencari tahu perihal keindahan dan pesona alam yang dihadirkan dari Indonesia
bagian timur. Dan tentu saja aku dibuat takjub dari setiap penemuan yang aku
dapatkan di sana, meskipun baru bisa dilakukan lewat dunia maya saja.
Bayangkan, dari satu
wilayah bagian Indonesia saja, kita bisa berhasil menemukan begitu banyak
keberagaman yang ada di dalamnya. Mulai dari bahasa, suku bangsa, adat istiadat,
hingga keindahan alam yang ditawarkan di sana tentunya sudah cukup menjelaskan
bahwa negara kita ini memang menganut semboyan Bhinneka Tunggal Ika,
berbeda-beda tetapi tetap satu jua.
Keberagaman Pola Pikir Masyarakat Indonesia
Keberagaman yang ada di
Indonesia saat ini seharusnya berhasil membuat setiap masyarakatnya bangga atas
apa yang mereka miliki. Namun, tidak dengan keberagaman pola pikir dalam
menyikapi pandemi Covid-19 saat ini.
Jika berbicara mengenai
vaksin, yang kini seolah menjadi jawaban bagi kita untuk bisa merdeka dari
pandemi, pasti akan ada banyak sekali pro dan kontra yang akan saling
bersikeras satu sama lain. Bukan berdasarkan latar belakang pendidikan, latar
belakang ekonomi, atau bahkan latar belakang usia.
Hal inilah yang membuatku
tersadar bahwa sebenarnya masalah ekonomi bukan satu-satunya penyebab utama
dari lahirnya keberagaman pola pikir dalam menyikapi pandemi Covid-19 ini.
Keberagaman Pola Pikir (indahladya.com) |
Jika ditarik garis
sedikit ke belakang, sebelum pandemi ini menyerang, sebenarnya sudah sangat banyak
perbedaan pendapat dalam kebijakan yang ada di negeri kita saat ini. Contohnya
perihal imunisasi.
Kalian pastinya sudah
sering mendengar beberapa oknum yang membanggakan anaknya atau bahkan dirinya
sendiri yang katanya sih tetap sehat meskipun tanpa imunisasi. Loh kok bisa
begitu ya?
Ternyata anak-anak yang
tetap sehat meskipun tanpa imunisasi ini dapat dijelaskan dengan konsep
kekebalan kelompok. Di mana jika suatu wilayah sudah mencapai batas minimal
dari syarat efektivitas imunisasi/vaksin, maka sebagian kecil orang yang tidak
diimunisasi akan mendapatkan kekebalan tubuh dari orang-orang di sekitarnya
yang sebagian besar sudah diberikan imunisasi/vaksin.
Beberapa jenis penyakit
sudah terbukti dapat diatasi dengan adanya vaksin, contohnya polio. Sebagaimana
yang kita tahu bahwa sejak tahun 2014, WHO telah menetapkan Indonesia sebagai
negara yang terbebas dari polio, yang mana hal ini bisa menjadi salah satu
bukti efektivitas imunisasi lengkap pada anak Indonesia.
Dalam hal pandemi
Covid-19 saat ini, dibutuhkan setidaknya 60% orang yang telah berhasil
divaksinasi Covid-19 agar terbentuk kekebalan kelompok demi mewujudkan
Indonesia yang merdeka dari pandemi. Di mana hal ini diharapkan mampu mencegah
penularan karena sebagian besar masyarakat memiliki kekebalan tubuh yang baik.
Hingga pada akhirnya nanti masyarakat yang sehat akan tetap sehat, termasuk
mereka yang tidak bisa divaksinasi karena faktor usia dan gangguan imunitas.
Nah, kira-kira kekebalan
kelompok ini bisa terbentuk nggak nih kalau lebih banyak orang yang kontra ke
vaksin? Jawab sendiri-sendiri aja ya, hehe.
Tanggapan Masyarakat Indonesia Terhadap Pandemi Covid-19
Sejujurnya aku sudah
cukup kagum dengan jerih payah pemerintah Indonesia dalam menghadapi badai
pandemi Covid-19 saat ini. Meskipun dengan beberapa kekurangan, namun yang
pasti aku percaya bahwa tidak ada orang yang tidak ingin pandemi Covid-19 ini
segera berlalu. Semua pasti mengharapkan agar kita bisa segera merdeka dari
pandemi saat ini, apalagi seorang pemerintah yang memiliki tanggung jawab besar
terhadap rakyat-rakyatnya.
Kendala untuk Merdeka dari Pandemi (indahladya.com) |
Sayangnya, keberagaman
dari berbagai tanggapan masyarakat Indonesia membuat beberapa peraturan sulit
untuk ditegakkan secara sempurna. Akan selalu ada oknum-oknum yang
membandingkan kebijakan pemerintah kita sendiri dengan pemerintah di negara
yang lainnya, yang notabenenya sudah menjadi negara maju dengan pola pikir
masyarakat yang berbeda pula dengan yang ada di negara kita saat ini.
Sebagai contoh kecilnya,
kompleks tempat tinggalku saat ini berhasil melakukan lockdown lokal yang
mengharuskan seluruh masyarakat yang terlibat di dalamnya menghentikan
mobilitas untuk keluar-masuk dari kompleks ini sendiri.
Beberapa orang mungkin
akan menanggapinya dengan buruk, sebagaimana peraturan yang katanya ribet dan
mempersulit orang-orang di dalamnya. Namun, tidak sedikit juga yang merasa
kagum dengan peraturan ini sendiri.
Contohnya salah seorang
temanku yang mengungkapkan kekagumannya terhadap ketegasan dari peraturan yang
ada di kompleksku saat ini. Namun, hal yang bisa aku ungkapkan adalah ketegasan
dari peraturan ini didukung dengan adanya lebih banyak orang yang setuju
dibandingkan orang yang tidak setuju.
Terlebih lagi kompleksku
saat ini mungkin hanya terdiri dari sekitar 700 kepala keluarga. Tidak setara
jika dibandingkan dengan pemerintah Indonesia yang harus mengatur 271.349.889
jiwa yang ada. Dengan latar belakang pendidikan yang berbeda, tingkat ekonomi
berbeda, yang menghasilkan pola pikir yang berbeda juga.
Nah, komparasi antar daerah di Indonesia pun tidak bisa dijadikan perbandingan yang setara, apalagi jika kamu berusaha membandingkan kebijakan negara kita dengan negara lainnya yang pastinya juga memiliki keadaan yang berbeda untuk bisa segera merdeka dari pandemi.
Vaksin Sebagai Bukti di Atas Kertas
Vaksinasi Covid-19 (indahladya.com) |
Terlepas dari berbagai
tanggapan masyarakat yang ada, kini pemerintah mulai memberikan angin segar
sebagai upaya demi terwujudnya Indonesia yang merdeka dari pandemi, yaitu
vaksinasi Covid-19.
Semakin melonjaknya kasus
positif infeksi Covid-19 saat ini mendorong pemerintah untuk menggiatkan
pemberian vaksin di setiap harinya untuk dapat mencapai herd immunity.
Salah satu kebijakan
terbaru selama PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) ini, yaitu
kebijakan wajib vaksin minimal dosis pertama sebagai syarat terbang. Awalnya
hal ini diberlakukan untuk meningkatkan awareness masyarakat terhadap
pentingnya vaksinasi ini sendiri. Di mana hal ini merupakan salah satu langkah
konkret demi mewujudkan Indonesia yang merdeka dari pandemi.
Namun, entah perihal
sosialisasi yang kurang meluas atau karena rendahnya kesadaran masyarakat ini
sendiri, justru bermunculan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab untuk
menjual sertifikat vaksinisasi palsu. Di mana beberapa orang yang ingin mendapatkan
sertifikat sebagai syarat bepergian mereka, bisa mendapatkan sertifikat vaksin
tersebut tanpa harus melakukan vaksinasi secara real, entah karena
alasan kepepet atau karena memang nggak pro ke vaksinnya aja.
Hal ini semakin membuatku
menggeleng-gelengkan kepala, betapa beragamnya pola pikir masyarakat dalam
menanggapi kesulitan sekaligus kesempatan yang ada. Padahal kalau dipikir-pikir
kan vaksin ini disediakan secara gratis oleh pemerintah Indonesia, tapi kok ada
aja sih yang mau spending uang ratusan ribu milik mereka untuk bisa
mendapatkan sertifikat vaksinasi palsu tersebut. Di luar nalar sekali, bukan?
Urgensi Herd Immunity untuk Indonesia Merdeka dari Pandemi
Sebagaimana yang sempat
disinggung sebelumnya, goals utama dari vaksinasi ini adalah herd
immunity, demi mewujudkan Indonesia yang merdeka dari pandemi. Menurut
kemkes.go.id, herd immunity atau kekebalan kelompok adalah ketika
sebagian besar populasi kebal terhadap penyakit menular tertentu sehingga
memberikan perlindungan tidak langsung atau kekebalan kelompok bagi mereka yang
tidak kebal terhadap penyakit menular tersebut.
Herd Immunity (indahladya.com) |
Jadi, ketika kamu
berpikir bahwa kamu bisa bebas bepergian dengan sertifikat vaksinasi palsu
tersebut, maka sebenarnya hal ini menggeser goals utama negara kita saat
ini. Meskipun bisa aja sih herd immunity ini didapatkan dari kekebalan
tubuh alami pasca terinfeksi Covid-19 ini sendiri. Namun, hal ini berarti
mengharuskan berjuta-juta orang terinfeksi Covid-19 terlebih dulu. Yang mana
hal ini akan menimbulkan kematian yang sangat tinggi karena Covid-19 memiliki case
fatality rate sebesar 3,4% (alomedika.com).
Nah, atas dasar alasan
inilah yang membuat pencapaian herd immunity, demi mewujudkan Indonesia
yang merdeka dari pandemi, melalui infeksi alami dinilai tidak realistis. Toh,
siapa jamin kan kalau kita masih bisa bertahan dari masa pasca-infeksi ini? Yaa
okelah, mungkin kamu bisa, karena alasan kekebalan tubuh yang memang baik
karena faktor usia dan sebagainya, tapi bagaimana dengan orang tuamu, kakekmu,
dan nenekmu? Akankah kita menjadi pribadi yang egois demi mencapai herd
immunity melalui infeksi alami ini?
Benarkah Bahwa Hak Bersifat Bebas?
Berbicara mengenai pro
dan kontra vaksin, pastinya hak adalah hal yang dijadikan alasan mendasar untuk
bebas menentukan pilihan hidup kita sendiri. Iya apa iya?
Jangan tentang vaksin
dulu deh, perihal sederhana aja yang sering kita temui sehari-hari, rokok
misalnya. Para perokok pastinya bepikir bahwa tidak ada orang yang berhak
melarang untuk mengisap rokok miliknya, toh dia bayarnya pake duit
sendiri, kan? Intinya, “ya ini kan hak aku!”
Padahal si perokok ini
lupa bahwa sebelum menuntut hak, kita perlu menunaikan kewajiban kita terlebih
dahulu. Hak memang bersifat bebas, namun kebebasan hak ini tetap dibatasi oleh
hak-hak lain dari orang di sekitarnya. Jadi kalau memang mau merokok sih boleh
aja, tapi kalau sampai mengganggu hak orang lain yang ingin menghirup udara
bersih, bukankah itu sama saja si perokok ini sudah tidak berhasil menunaikan
kewajibannya karena melanggar hak orang di sekitarnya?
Nah, begitu juga dengan vaksin. Mungkin kamu berpikir bahwa kamu berhak untuk menolak vaksin karena setiap orang bebas menentukan pilihan hidupnya sendiri. Namun, bukankah salah satu kewajibanmu adalah untuk menjadi rakyat yang taat hukum?
Dikutip dari jurnal
RechtsVinding yang berjudul Pelaksanaan Vaksinasi Covid-19 di Indonesia: Hak
atau Kewajiban Warga Negara, menyatakan bahwa vaksinasi dalam rangka
penanganan Covid-19 adalah suatu hak sekaligus kewajiban dari warga negara.
Hak dan Kewajiban Vaksinasi (indahladya.com) |
Mungkin hal ini bisa
disebut sebagai hak untuk memilih pelayanan kesehatan yang sesuai baginya.
Namun, bila dilihat dari konteks virus Covid-19 yang berskala pandemi, maka
seseorang yang tidak divaksin bisa berpotensi menjadi virus carrier bagi
orang lain, sehingga dapat menghambat proses menuju Indonesia yang merdeka dari
pandemi.
Dalam hal ini, telah
menjadi kewajiban setiap warga negara untuk mencapai tujuan negara, yakni
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
termasuk melindungi hak asasi orang itu sendiri dalam rangka memperoleh hak
untuk hidup secara sehat.
Oleh karena itu,
vaksinasi yang mulanya merupakan suatu hak dapat berubah menjadi kewajiban
asasi manusia untuk menghargai hak asasi orang lain, dalam hal ini adalah hak
atas kesehatan orang lain. Gimana, jadi nggak bingung lagi kan perihal
hak dan kewajiban ini?
Merdeka dari Pandemi : Jangan Jadikan Keberagaman Sebagai Rintangan!
Upaya Merdeka dari Pandemi (indahladya.com) |
Jujur saja, aku cukup
merasa prihatin dengan beberapa oknum yang sudah memiliki jatah dan izin vaksin
namun tetap menolak vaksin itu sendiri. Karena sebagaimana yang terjadi di
keluargaku, hampir semua telah berhasil divaksin kecuali beberapa orang yang
memang belum diperbolehkan mendapatkan vaksin karena suatu kondisi tertentu.
Dan sebenarnya kembali
lagi ke poin herd immunity demi mewujudkan Indonesia yang merdeka dari
pandemi, tentunya aku berharap anggota keluargaku yang memang belum mendapatkan
izin dari dokter untuk melakukan vaksinasi ini tetap bisa mendapatkan kekebalan
kelompok dari lingkungan sekitarnya yang telah divaksin secara lengkap. Karena
siapa sih yang nggak merasa khawatir dengan keselamatan keluarganya sendiri. Kamu
juga pasti merasakan hal yang sama, bukan?
Mungkin vaksin memang tidak bisa mencegah virus Covid-19 ini secara 100%, namun vaksin adalah ikhtiar sebagai pelengkap protokol kesehatan yang ada, protokol kesehatan yang selama ini sedang kita perkuat bersama untuk bisa merdeka dari pandemi.
Kita memang tidak
memiliki hak untuk memaksa orang lain agar mempercayai apa yang kita percayai.
Namun, dalam hal ini aku berani menyatakan bahwa tidak seharusnya keberagaman
pola pikir kita dalam menilai suatu permasalahan, apalagi dalam kasus pandemi
Covid-19 saat ini, menjadikan kita pribadi yang egois. Pribadi yang hanya
memikirkan hak atas dirinya sendiri.
Sebagaimana keberagaman
masyarakat Indonesia yang seharusnya menjadi suatu hal yang dapat dibanggakan
oleh bangsanya, justru bisa menjadi boomerang terhadap masyarakat itu
sendiri, contohnya keberagaman pola pikir ini.
Keberagaman tidak bisa
menjadi pembenaran untuk menjadi masyarakat yang tidak patuh terhadap peraturan
yang ada. Percaya atau tidaknya, mungkin memang itu menjadi hak milikmu seara
mutlak, namun ikut mewujudkan hak asasi orang lain untuk bisa hidup secara
sehat juga tetap menjadi kewajibanmu secara mutlak. Bukan hanya sebagai warga
negara yang taat hukum, namun juga sebagai manusia yang telah dilengkapi dengan
akal sehat dan hati nurani.
Jangan jadikan
keberagaman pola pikir ini sebagai rintangan utama dalam menyelesaikan pandemi
yang ada. Bersama kita wujudkan masyarakat yang tangguh demi menuju Indonesia
bangkit dan merdeka dari pandemi. Tetap patuhi protokol kesehatan dan jangan
lupa vaksin ya!
Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Pembuatan Konten Media Sosial dalam rangka Memperingati HUT RI ke-76 dengan tema Merdeka dari Pandemi: Bersatu dalam Keberagaman untuk Indonesia Bangkit yang diselenggarakan oleh Dinas Komunikasi dan Informatika DIY.
Referensi :
www.alomedika.com
www.covid19.go.id
www.kemkes.go.id
Gandryani, F., Hadi,F.
2021, Pelaksanaan Vaksinasi Covid-19 di Indonesia: Hak Atau Kewajiban Warga
Negara, Jurnal RechtsVinding, 10(1): 23-41.
Wah aku setuju dengan tulisanmu mba. Gimana ya, bingung juga soal pandemi ini dengan banyak pikiran yang berbeda. Mereka semua punya alasan masing-masing.. tapi aku sendiri pun nggak bisa dipungkiri kalau pandemi ini kadang bikin jenuh :"
BalasHapusSemoga pandemi segera berlalu. Agar kira kembali bebas berekspresi
BalasHapuskalau baca tulisan tentang pendemi gini, tetap rasanya nano-nano, mbak. karena kenyataan di masyarakat, memang beragam banget. semoga kita tetap kuat deh, dan pendemi ini segera berakhir, amiiiin
BalasHapusSudah bukan saatnya lagi untuk saling tunjuk siapa yang salah, sekarang saatnya bersatu ya lebih kompak masyarakat Indonesia hadapi pandemi..
BalasHapusSedih pandemi ini memakan puluhan ribu nyawa, semoga penanganan makin membaik dan kita juga makin kompak, patuh prokes, mau divaksin biar Indonesia segera bebas covid dan kita bisa bebas beraktivitas seperti dulu lagi aamiin
BalasHapusprogram pemerintah sebenernya udah bagus, udah ada protokol kesehatan dan vaksin, kita tinggal ngelakuin aja. soal pertanyaan kapan pandemi berakhir ini sepertinya ga begitu membantu ya, hanya memperkeruh aja rasanya, karena kita semua gatau selesainya kapan.
BalasHapusAku setuju mba. Sebenernya yang kita perangi justru orang2 kita sendiri yang masih belum sadar tentang kepentingan orang banyak. Semakin sadar akan keselamatan diri,kita bisa turut menyelamatkan orang lain juga menurutku.
BalasHapus