Klaustrofobia, My Untold Story
Klaustrofobia, My Untold Story (sumber gambar: dokumentasi pribadi indahladya.com) |
Bagi sebagian orang, berada dalam suatu ruangan sempit mungkin bukan
menjadi suatu yang besar. Namun, bagi pengidap klaustrofobia, berada di suatu
ruangan sempit ini akan menyebabkan rasa takut berlebih yang diikuti dengan respon
lainnya seperti sakit kepala dan jantung yang berdetak lebih cepat.
Beberapa orang mungkin menganggap hal ini adalah suatu hal yang terlalu
berlebihan, bahkan tidak segan untuk menghakimi pengidap salah satu kasus fobia
ini sebagai orang yang “lebay”. Padahal, pada kasus yang parah, pengidap
klaustrofobia dapat mengalami gejala sesak nafas hingga hiperventilasi.
Klaustrofobia
Klaustrofobia (sumber gambar: dokumentasi pribadi indahladya.com) |
Klaustrofobia adalah fobia situasional yang dipicu oleh rasa takut yang
tidak rasional dan intens terhadap ruang sempit atau sesak. Hal ini dapat
dipicu oleh hal-hal seperti terkunci di ruangan tanpa jendela, terjebak dalam
lift yang penuh sesak, atau mengemudi di jalan raya yang padat
(healthline.com).
Klaustrofobia ini juga termasuk salah satu jenis kasus fobia yang umum dan tidak
sedikit ditemukan pada lingkungan kita sehari-hari. Adapun kasus ini bisa
memicu respon yang ringan hingga respon yang parah.
Pada beberapa orang, kasus klaustrofobia dapat menghilang dengan
sendirinya. Namun, pada beberapa kasus lainnya, hal ini membutuhkan terapi dan
penanganan khusus berdasarkan jenis gejala yang ditimbulkan ketika mengalami
serangan tersebut.
Gejala Klaustrofobia
Gejala Klaustrofobia (sumber gambar: dokumentasi pribadi indahladya.com) |
Pada kasus yang ringan, gejala yang ditimbulkan umumnya dapat berupa rasa
bingung dan pusing. Sedangkan pada kasus yang parah, pengidap klaustrofobia
dapat mengalami gejala mulai dari sesak nafas, mual, nyeri dada, hingga
hiperventilasi.
Hiperventilasi sendiri merupakan kondisi saat seseorang mungkin akan lebih
banyak mengeluarkan karbon dioksida daripada menghirupnya. Akhirnya, karbon
dioksida dalam tubuh pun berkurang. Level rendah tersebut dapat memicu
penyempitan pembuluh darah yang memasok darah ke otak. Ketika hal itu terjadi,
maka seseorang akan merasa “melayang” dan kesemutan pada jari. Bahkan kasus
hiperventilasi yang parah dapat menyebabkan kehilangan kesadaran alias pingsan
(hellosehat.com).
Jadi, masih mau menganggap kalau pengidap kasus klaustrofobia ini “lebay”?
Penyebab Klaustrofobia
Penyebab Klaustrofobia (sumber gambar: dokumentasi pribadi indahladya.com) |
Gejala yang ditimbulkan dari klaustrofobia ini dapat dipicu oleh beberapa
pengalaman masa lalu ataupun mungkin faktor lingkungan yang memainkan peran cukup
besar sebagai penyebab kasus ini.
Peristiwa-peristiwa yang bersifat traumatis seperti terjebak di ruang
sempit dalam waktu lama, mengalami turbulensi saat terbang, bahkan pengalaman
buruk seperti dihukum dengan cara dikunci dalam suatu ruangan kecil seperti
kamar mandi bisa turut berpotensi menyebabkan timbulnya kasus klaustrofobia
ini.
Pandangan Sebagai Pengidap
Klaustrofobia
Pandangan Sebagai Pengidap Klaustrofobia (sumber gambar: dokumentasi pribadi indahladya.com) |
Tidak banyak orang yang aku beri tahu mengenai hal ini. Karena sebetulnya,
aku pun tidak bisa mendiagnosa secara pasti apakah aku termasuk dalam salah
satu pengidap kasus klaustrofobia ini. Jika memang iya, maka aku termasuk
sebagai pengidap kasus klaustrobia dengan gejala yang ringan.
Jauh sebelum aku tahu istilah klaustrofobia, yang aku tahu bahwa aku
hanyalah seorang anak yang takut untuk berada di suatu ruangan kecil terutama
yang berisi banyak orang, ruangan yang penuh sesak lah istilahnya. Ruangan yang
aku maksud disini bisa jadi banyak jenis, seperti toilet yang terlalu kecil dan
tertutup (berbeda dengan toilet mall yang notabenenya terdapat celah pada
bagian atas dan bawahnya), ruangan tanpa jendela, atau bahkan sebuah lift
sekali pun.
Meskipun aku memiliki rasa takut dan cemas ketika berada di ruangan
tersebut, tetapi hal ini tidak menyebabkan aku menolak sepenuhnya untuk berada
di ruangan yang sudah aku sebutkan tadi. Namun, jika memang ada pilihan lain,
maka aku pasti memilih untuk mengambil “pilihan lain” tersebut.
Gejala yang dapat aku rasakan mulai dari rasa pusing dan jantung yang
berdetak lebih cepat. Nah, gejala-gejala ringan inilah yang sebetulnya membuat
aku merasa tidak nyaman dan mulai bertanya-tanya pada diri sendiri, “sebenarnya
aku ini kenapa sih?”.
Dengan bantuan beberapa akun media sosial yang saat itu men-share artikel yang berisi jenis-jenis
fobia, maka sesaat setelahnya aku mulai memahami bahwa memang ada suatu hal
yang salah dengan diriku. Namun, hal ini tentunya tidak mudah untuk aku
diskusikan dengan orang lain, karena kasus-kasus fobia seperti ini nampaknya
masih awam di lingkungan sekitarku.
Yang aku pikirkan saat itu hanyalah “rasa takut akan penolakan dari orang
sekitar”, karena aku merasa seolah hanya aku yang memiliki rasa aneh seperti
ini. Jika ditanya penyebabnya pun, aku tak tahu pasti. Mungkin faktor tontonan
semasa kecil yang mengambil plot dimana seseorang mati terbunuh sesaat setelah
terjebak dalam suatu lift saat terjadi gempa bumi. Sampai saat ini, yang aku
ingat hanya adegan itu.
Mengatasi Serangan Panik
Mengatasi Serangan Panik (sumber gambar: dokumentasi pribadi indahladya.com) |
Menjadi seseorang yang “mungkin” mengidap klaustrofobia ini cukup membuat
diriku merasa tidak percaya diri dan takut. Namun, karena gejala yang
ditimbulkan termasuk gejala yang ringan, aku rasa, hal yang perlu aku lakukan
saat ini hanyalah latihan pernafasan dan mencoba fokus pada hal yang aman
ketika berada di ruangan “menyeramkan” tersebut, seperti mencoba memandangi
waktu pada jam tangan yang saat itu aku gunakan.
Pada kasus klaustrofobia yang parah, dilansir dari healthline.com, kita
disarankan untuk memilih salah satu jenis terapi pengobatan, seperti :
Cognitive behavioral therapy (CBT)
Terapi ini memfokuskan diri untuk mengontrol dan mengubah pikiran negatif
yang datang saat serangan panik terjadi. Dengan mengubah pola pikir ini, maka
akan lebih mudah bagi kita untuk mengubah reaksi dan respon ketika menghadapi
situasi yang memicu timbulnya serangan panik tersebut.
Rational emotive behavioral therapy (REBT)
REBT ini merupakan salah satu bentuk CBT yang terfokus pada perilaku dan
emosi dari pengidap kasus ini. REBT ini membahas sikap, emosi, dan perilaku
yang tidak sehat sehingga memastikan kita untuk tidak merasakan suatu ketakutan
yang tidak realistis.
Relaksasi dan visualisasi
Terapi ini memastikan kita untuk berkhayal atau memvisualisasikan diri
seolah berada di suatu tempat yang aman dan nyaman, sehingga pikiran-pikiran
negatif ketika berada di ruangan sempit ini bisa diminimalisir.
Terapi “pemaparan”
Terapi “pemaparan” ini mungkin akan menempatkan kita pada suatu kondisi
dimana kita biasa mengalami serangan tersebut, yaitu ruangan sempit itu
sendiri. Kita akan ditempatkan pada suatu kondisi tidak berbahaya, tetapi tetap
memicu klaustrofobia. Teknik ini diharapkan mampu membuat seseorang dapat
menghadapi dan mengontrol rasa takutnya. Prinsipnya adalah “semakin sering kita
dihadapkan oleh suatu hal yang menyebabkan rasa takut, maka semakin sedikit
rasa takut yang kita dapatkan”.
Obat-obatan
Menghubungi tenaga medis merupakan cara terbaik dalam menghadapi kasus
klaustrofobia dengan gejala menengah hingga parah. Dokter biasanya akan
meresepkan obat-obatan seperti antidepresan atau jenis obat-obatan lain sesuai
dengan gejala yang ditimbulkan. Obat-obatan ini biasanya hanya sebagai terapi
tambahan dari beberapa jenis terapi yang sudah disebutkan sebelumnya.
Nah, ternyata klaustrofobia ini tidak sesederhana itu ya. Apalagi untuk
kasus yang parah. Pesanku untuk sesama pengidap klaustrofobia, penting bagi
kita untuk tidak menahan emosi dan kecemasan saat serangan panik ini terjadi,
karena semakin kita ingin menghentikan kecemasan tersebut, maka hal ini dapat
membuat serangan menjadi semakin parah (healthline.com).
Sebaliknya, terimalah bahwa serangan itu terjadi, ingatkan diri bahwa it’s okay to feel this, yakinkan diri kita
bahwa serangan ini tidak mengancam nyawa, dan ingatlah bahwa serangan itu akan segera
berlalu.
Teruntuk orang-orang beruntung yang mungkin mendapati cerita kecemasan dari
pengidap klaustrofobia ini, jangan berusaha untuk menghakimi ya! You never know how it feels until it happens
to you.
(sumber gambar: dokumentasi pribadi indahladya.com)
IndahLadya
Referensi :
Annamarya Scaccia, 2017, Everything You Should Know About Claustrophobia