Toxic Positivity, The Dark Side of "Positive Vibes Only"
Toxic Positivity (sumber gambar: dokumentasi pribadi indahladya.com) |
“Positive Vibes Only”, satu
kalimat penuh makna yang jika kalian cari di mesin pencarian bernama google maka akan muncul bersamaan dengan
beberapa quote pendukung lainnya
seperti “we don’t appreciate negative
vibes”, “stay positive”, atau “be happy” dan beberapa kalimat pendukung
lainnya.
Sebagian orang beranggapan bahwa menjadi positif adalah satu-satunya cara
terbaik untuk melewati berbagai halang-rintang kehidupan saat ini. Namun,
nyatanya tidak selamanya kita harus terus bertahan dalam ke-positif-an ini,
karena terkadang menjadi positif berarti mencoba lari dari permasalahan yang
ada.
Apa itu Toxic Positivity?
Apa itu Toxic Positivity? (sumber gambar: dokumentasi pribadi indahladya.com) |
Toxic positivity adalah generalisasi yang berlebihan dari keadaan bahagia dan pernyataan optimisme yang menghasilkan penyangkalan, minimisasi, dan invalidasi pengalaman emosional manusia yang otentik (thepsychologygroup.com)
Toxic positivity ini mengacu pada konsep bahwa setiap manusia wajib
berpikiran dan bersikap positif terhadap apapun yang terjadi di dalam hidupnya.
Padahal, toxic positivity ini membuat
kita terlupa bahwasanya menusia diciptakan tidak hanya dengan emosi positif
namun juga emosi negatif yang keduanya perlu direalisasikan.
Emosi Positif dan Negatif
Emosi adalah kondisi keadaan yang kompleks karena perubahan fisik dan
psikologis yang memicu perasaan intens yang ditujukan kepada seseorang atau
suatu hal.
Mungkin beberapa dari kita cenderung menanggapi kata “emosi” sebagai salah
satu hal yang terdengar negatif. Namun, kita sebagai manusia perlu mengamini
bahwa emosi yang tercipta pada manusia meliputi emosi positif dan emosi
negatif.
Emosi Negatif (sumber gambar: dokumentasi pribadi indahladya.com) |
Saya yakin bahwa setiap manusia tidak ada yang menginginkan emosi negatif
hadir dalam dirinya, seperti marah, menangis, kecewa, dan beberapa hal menyedihkan
lainnya. Berbeda dengan emosi positif, yang cenderung digalakkan oleh beberapa
kaum “positive vibes only”, seperti
ekspresi kesenangan, kebahagiaan, dan kegembiraan.
Emosi Positif (sumber gambar: dokumentasi pribadi indahladya.com) |
Sebagian orang melakukan penyangkalan terhadap emosi negatif ini sehingga
muncul suatu stigma bahwa emosi negatif hanya akan menimbulkan masalah. Namun,
pada kenyataannya, emosi negatif yang terus-menerus terpendam justru akan
memicu masalah yang lebih besar di kemudian hari.
Seperti yang telah saya sampaikan di awal penulisan artikel ini, terkadang
menjadi positif tidak selamanya baik. Ketika kita mencoba untuk mengesampingkan
perasaan-perasaan negatif, maka kita sudah mencoba lari dari suatu permasalahan
yang seharusnya kita hadapi, bukan kita hindari.
Contoh Toxic Positivity
Contoh Toxic Positivity (sumber gambar: dokumentasi pribadi indahladya.com) |
Toxic positivity lahir dari keresahan sesama manusia akan hadirnnya
drama-drama beruntun dari seseorang yang tengah dirundung kesedihan. Secara
tidak sadar, melalui tren kekinian bertajuk “curhat”, toxic positivity ini mengalir begitu saja sebagai ungkapan penyemangat
terhadap korban yang ternyata mengandung “racun”.
Beberapa ungkapan penyemangat mengandung “racun” ini tertuang dalam
beberapa contoh kalimat di bawah ini :
“Sabar aja, coba deh lihat di
luar sana masih banyak yang gak seberuntung kamu!”
I bet you guys have told this
to your friend, or maybe you just have got this statement from your friend. Se-klasik itu sih emang, sebuah balasan mainstream pasca-curhat yang biasanya
bakal diutarakan seseorang kepada korban yang mungkin mengalami masalah yang
terlihat sangat kecil di mata pendengarnya.
Jujur, ini menyakitkan guys, karena saya pernah mengalami berada di posisi
demikian. Bukan kalimat ini yang diharapkan seseorang yang ingin berbagi keluh
kesah padamu. Mereka cukup paham bahwa memang sangat banyak diluar sana yang
mungkin tidak seberuntung dirinya, namun tidakkah pernyataan itu sebaiknya
tidak kamu keluarkan ketika tengah menjadi pendengar?
“Jangan Menyerah!”
Kalimat “jangan menyerah” ini pun termasuk salah satu kalimat mainstream ketika kamu berusaha menjadi
penyemangat seseorang. Tidak salah memang, namun terkadang pernahkah kamu
bertanya apa yang sebenarnya menjadi tantangan terberat dalam hidupnya saat
itu?
“Aku juga pernah kok mengalami
hal yang sama.”
Again, terdengar tidak asing bukan? Ketika kita dipercaya menjadi pendengar
dari keluh kesah seseorang, maka berarti kita setuju bahwa di dalam percakapan
tersebut tidak ada yang namanya kompetisi “siapa paling tersakiti” atau “siapa
yang memiliki pengalaman buruk paling banyak”.
Cara Menghindari Toxic Positivity
Stop Toxic Positivity (sumber gambar: dokumentasi pribadi indahladya.com) |
Setelah mengetahui beberapa kalimat-kalimat bertajuk penyemangat yang
ternyata mengandung “racun” tersebut, maka beberapa kalimat di bawah ini akan
membantumu untuk menjadi pendengar yang baik tanpa mengutarakan toxic positivity ke orang lain.
“Terimakasih sudah mengeluarkan
emosimu saat ini.”
Yap, apresiasi. Percayalah bahwa apresiasi ini sangat penting kepada
seseorang yang tengah dirundung masalah, baik masalah besar maupun masalah
kecil sekalipun. Dengan memberikan seseorang apresiasi, maka kamu sudah cukup
membuatnya merasa lebih baik karena ia akan merasa lebih diterima ketika
mengutarakan emosi-emosi negatifnya yang mungkin selama ini terpendam. You save her!
“Wajar jika kamu merasa
sedih/marah.”
Seseorang yang tengah dirundung masalah tidak memerlukan pembelaan apapun
selain mengamini bahwa emosi negatifnya saat itu memang wajar untuk ia rasakan.
“I feel you, and I’m here for you”
Kalimat ini mungkin masih relate dengan kalimat sebelumnya. Dengan ikut
merasakan apa yang saat itu tengah dirasakan seseorang yang dirundung masalah,
maka kita akan cenderung menerima dan memahami emosi yang disalurkan seseorang.
Karena terkadang, yang dibutuhkan hanyalah kehadiran seseorang yang dapat
menjadi pendengar yang baik untuknya, meski tanpa sepatah kata pun.
Sebagaimana dikutip dari thepsychologygroup.com, “we get one chance at this beautiful, painful, imperfect life…embrace it entirely and you’ll reap the rewards of bountiful aliveness.”
Dengan menjadi penyebar toxic
positivity maka kita tidak hanya menyakiti diri sendiri namun juga
menyakiti orang yang paling kita sayang, so,
just stop it! Dunia tidak selamanya baik-baik saja, begitu pula kita
sebagai penghuninya.
Maka, mulailah dengan menyebar empati tanpa toxic positivity, keep
healthy and keep sane!
IndahLadya
Referensi :
Samara Quintero,
LMFT, CHT and Jamie Long, PsyD, 2020, Website The Psychology Group
baru tau banget tentang toxic positivity, thanks a lot
BalasHapussalam kenal
iya kak, karena terkadang memang kita ingin menyemangati orang lain namun malah secara tidak sadar menyebarkan toxic positivity :) terimakasih sudah sharing kak
HapusTampilan blognya udah bikin nyaman banget kak. Oh iya, lagi up ya pembahasan toxic positifity ini. Aspek psikologi emang selalu menarik.
BalasHapusalhamdulillah mbak, hehe. Saya setuju sama mbak, makanya saya sempat mengangkat beberapa tema psikologi di bbrp artikel saya karena memang menarik untuk digali lebih dalam :) terimakasih sudah sharing mbak
HapusThanks bangeeet Kak. Baru sadar aku soal ini.
BalasHapusHihi iya kak, terkadang memang kalimat-kalimat tersebut secara tidak sadar sudah bersifat toksik untuk orang lain, walaupun sebenarnya niat kita baik :) terimakasih sudah sharing kak
HapusDuh ga sadar kalo selama ini jadi member toxic positive,maksih kak artikelnya
BalasHapusiya kak sama-sama ya, senang bisa saling berbagi informasi :)
HapusBaru tau kalo positivity ada toxic nyaa
BalasHapushehe iya mbak, tapi gak semua positivity itu toksik kok :)
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus